Rabu 08 Apr 2020 05:11 WIB
Emansipasi Islam

Buya Hamka Dan Emansipasi Wanita Dalam Islam (1)

Kisah tentang emansipasi

RA. Kartini bersama anak-anak didiknya, foto diambil dari buku
Foto: Google.com
RA. Kartini bersama anak-anak didiknya, foto diambil dari buku "Archipel 13: Etudes intersdiciplinaires sur le monde insulindien", Paris 1977

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Priyanla Kusuma Wardhani, Peminat Sejarah Islam Indonesia

“Hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dengan perempuan bukanlah berarti bahwa pekerjaan yang hanya bahu laki-laki yang kuat memikulnya perempun disuruh pula memikulnya.” – Hamka.

 

Topik tentang perempuan memang selalu asyik untuk dibahas. Membicarakan kedudukan perempuan tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan kedudukan laki-laki. Kedudukan perempuan yang dibahas juga tidak sebatas pada bahasan terkait hak-haknya saja, namun juga kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya. Begitu juga ketika dihadapkan dengan kedudukan laki-laki. Maka, ketika membahas tentang perempuan, kita sejatinya membahas tentang permasalahan manusia secara keseluruhan.

Pembicaraan tentang perempuan juga tidak habis dimakan masa. Sejak terciptanya Adam sebagai manusia pertama, keberadaan perempuan sudah menjadi perbincangan. Seiring berjalannya waktu, permasalahan perempuan pun ikut berkembang mengikuti zamannya. Ihwal perempuan yang diangkat pada abad pertengahan berbeda dengan ihwal yang diangkat pada tahun 1970an. Berbeda pula dengan perkara perempuan yang disuarakan pada masa sekarang. Kenyataannya, persoalan perempuan memiliki benang merah yang bisa dihubungkan dari waktu ke waktu. Jawabannya pun sebenarnya sudah ada sejak 14 abad silam, sejak Muhammad menerima wahyu berupa Islam dari Sang Maha Pencipta.

Cerita Perempuan dari Masa ke Masa

Kedudukan perempuan mengalami naik turun dari masa ke masa. Ada era dimana kedudukan perempuan lebih baik dibanding sekarang, namun ada era sebaliknya pula. Pada masa 1600an S.M di Babilonia ketika Hammurabi berkuasa misalnya, perempuan masa itu didukung landasan hukum yang kuat. Mereka berhak memiliki, mewarisi, dan memindahtangankan hartanya tanpa perlu mendapat persetujuan suaminya. Malah, jauh sebelum itu, Romawi kuno pada tahun 200-an S.M mengagungkan dengan memberikan nama perempuan pada dewa mereka. Mereka pun membuat undang-undang untuk memajukan kedudukan sosial kaum perempuan.

Mesir pada tahun 1550 S.M juga mendudukan perempuan bernama Hatshepur sebagai ratu. Perempuan Mesir juga berhak atas hartanya sendiri seperti para perempuan di Babilonia. Tidak ada paksaan menikah untuk para gadis maupun janda. Perempuan bisa mengajukan gugatan cerai, hampir sama dengan laki-laki. Walaupun tidak banyak perempuan yang tampil sebagai pemegang kekuasaan, istri-istri pejabat menjadi sorotan dan memegang peranan penting. Bisa dikatakan kalau kedudukan perempuan Mesir saat itu lebih bebas dibandingkan perempuan Barat saat ini.

Sayangnya, Yunani kuno yang terkenal atas lahirnya pemikiran filsafat barat tidak berlaku baik kepada perempuan. Perempuan Yunani kuno tidak berhak mendapat pendidikan formal, memegang jabatan, dan memiliki hartanya sendiri. Bangsa Romawi setelah keruntuhannya pun berlaku sama, jauh berbeda dengan masa keemasannya. Perempuan tak lebih hanya sebagai pelampiasan nafsu lelaki saja dan bisa ditindas. Bahkan ada aturan yang melarang perempuan berbicara di dalam gereja.

Di jazirah Arab, kedudukan perempuan pada zaman jahiliyah sangat direndahkan. Perdagangan perempuan sudah menjadi hal yang lumrah. Lain halnya dengan perempuan, posisi laki-laki pada saat itu memiliki derajat yang tinggi dan diunggulkan. Laki-laki bebas berkehendak semaunya dan tidak ada yang membatasi. Bahkan, mereka rela menghujamkan pedang kepada siapa saja yang berani menghalangi jalannya.

Keluarga Arab pada zaman jahiliyah begitu mendamba anak laki-laki sebagai keturunannya untuk membentengi diri dari serangan musuh.Tapi, kehadiran anak perempuan justru mendatangkan aib.Anak perempuan dianggap tidak membawa untung sama sekali sebab tidak bisa membantu keluarga.Setiap ada kelahiran anak perempuan, laki-laki Arab pada zaman jahiliyah merasa malu dan murka.

Anak perempuan yang lahir pada masa itu memiliki dua pilihan: dibiarkan hidup dengan menanggung hina atau ditimbun dalam tanah. Jika dibiarkan hidup, maka anak perempuan akan dijadikan tawanan rumah dengan dipaksa untuk melakukan pekerjaan berat. Mereka dianggap tidak ada, tidak dihitung sebagai anggota keluarga. Malang lagi nasib anak perempuan jika dia harus dikubur hidup-hidup tepat setelah lahir. Ayah nya akan menggalikan lubang untuk menimbunnya atau mencari sumur tua untuk ditinggalkan disana dan ditindih dengan batu.

Ketika Islam datang, tabiat buruk mengubur anak perempuan dihapuskan. Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah yang mencela dan mengecam perbuatan keji itu. Turunnya wahyu Ilahi yang melindungi kaum perempuan, memberi pengaruh besar pada masyarakat Arab. Beberapa ayat lain juga menjelaskan bahwa kedudukan perempuan sama dengan laki-laki di hadapan Allah dan bermacam peranan perempuan yang tak kalah pentingnya dengan laki-laki membuat derajat perempuan terangkat.

Di Barat, pandangan rendah terhadap perempuan melahirkan suatu gerakan pembebasan kaum perempuan. Gerakan ini, yang kita kenal sebagai feminisme, secara umum bertujuan untuk mengeliminasi perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Awal kemunculannya di abad ke-18, gerakan feminisme menuntut diberikannya hak pilih kepada perempuan. Kemudian muncul gelombang feminisme kedua pada tahun 1970-an yang menuntut kesamaan dan keadilan gender di ranah sosial hingga kedudukan keluarga.

Feminisme sendiri memiliki beragam cabang. Rosmarie Tong dalam Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (2009) setidaknya menyebutkan ada feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme Marxis,  ekofeminisme, hingga feminisme post-modern. Meskipun begitu, perjuangan kaum feminis berfokus kepada usaha perjuangan kesetaraan hak perempuan di segala lini kehidupan.

Sayangnya, feminisme adalah gerakan yang lahir karena nafsu amarah. Paham ini dipaksakan masuk ke seluruh bangsa bahkan agama. Kesetaraan gender, produk utama yang diusung oleh kaum feminis, dimasukkan ke dalam salah satu neraca pembangunan PBB dalam bentuk Gender Development Index (GDI).

Di Indonesia, feminisme diimpor dan dipoles dengan nama “emansipasi wanita”. Menurut KBBI, emansipasi wanita adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.[ Emansipasi menawarkan persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan. Sayangnya, tidak banyak yang tahu, bahwa sesungguhnya manisnya persamaan hak laki-laki dan perempuan yang disuguhkan itu pada dasarnya merupakan produk dari sekularisme.Agama dianggap terlalu mengekang dan berlaku tidak adil terhadap perempuan.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement