REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Ramadhan menjadi ujian mendisiplinkan diri bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk Suku Uighur yang mendiami Kota Kashi atau Kashgar, Xinjiang, Cina. Namun, Ramadhan juga menghadirkan atmosfer festival bagi turis yang berkunjung ke Kashgar.
Turdigul Ali duduk menatap sebuah jam yang tergantung di dinding di rumah saudara laki-lakinya di wilayah otonomi Xinjiang Uigur tersebut pada 12 Juni lalu. Perempuan itu menunggu jarum jam mencapai pukul 10.30 malam sehingga dia bisa melakukan sholat dan mengakhiri puasanya.
Itu menjadi rutinitas Muslim berusia 35 tahun tersebut setiap hari sejak 27 Mei selama Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam. Muslim yang berpuasa tidak diperkenankan mengonsumsi segala bentuk makanan atau minuman pada siang hari. Di Xinjiang, Ramadhan akan diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri pada Senin (26/6).
Rumah saudara laki-laki milik Turdigul terletak di tepi bukit setinggi 40 meter dan menghadap ke Sungai Tuman. Kawasan perumahan tradisional Uighur dikenal sebagai lingkungan dataran tinggi, yang memiliki sejarah lebih dari seribu tahun dan merupakan landmark Kota Tua Kashgar.
Ada lebih dari 220 ribu penduduk di Kashgar, yang sebagian besar merupakan etnis Uighur dan beragama Islam. Dataran tinggi di wilayah itu terbentuk dari endapan loess, yang digunakan saudara laki-laki Turdigul, Aniwar Ali, sebagai bahan baku tembikar.
Aniwar merupakan perajin tembikar. Dia membuat mangkuk dan kendi tradisional khas Uighur, yang populer di kalangan wisatawan. Aniwar yang telah mempelajari kerajinan sejak berusia tujuh tahun tidak bekerja selama Ramadhan.
Namun, bisnis pria berusia 50 tahun itu sama populer seperti biasanya. "Banyak orang bertanya kepada saya mengapa saya tidak membuat tembikar selama bulan ini dan saya dengan sabar selalu menjelaskan kepada mereka tentang puasa," kata Aniwar, dilansir dari China Daily, Jumat (23/6).
Hanya Aniwar dan Turdigul di keluarga mereka yang berpuasa pada Ramadhan tahun ini. Ibu mereka yang sudah berusia 75 tahun tidak berpuasa karena sakit-sakitan sedangkan istri Aniwar harus mengurus anak mereka yang masih kecil.
Ketika Turdigul sedang menikmati makanan buka puasanya, putri Aniwar yang berusia tujuh tahun, Nazera Aniwar, tampak bersemangat mencoba baju barunya. Sang Ibu membelikan pakaian itu untuk dikenakan Nazera ketika Hari Raya Idul Fitri.
Banyak pengunjung tertarik ke Kota Tua Kashgar. Bahkan, kota itu menjadi salah satu tujuan wisata utama Cina sejak 2015 berkat pelestarian arsitektur dan gaya hidup Suku Uighur.
Dawut Shawut (36 tahun) lahir dan besar di Kashgar. Dia mencari nafkah dengan menunjukkan kepada pengunjung lorong-lorong dan pasar kota tua dari kereta kuda yang ditariknya.
Dia selalu menunggu di pintu masuk kota sedangkan pengunjung menyaksikan upacara penyambutan, yang menampilkan musik dan tarian tradisional Uigur tradisional pukul 10.30. Upacara penyambutan ini merupakan agenda rutin, tidak terkecuali selama Ramadhan, yang merupakan puncak musim wisata di Kashgar.
"Dibutuhkan sekitar satu jam setengah untuk berkeliling kota tua di kereta kuda saya dan saya bisa menghasilkan sekitar 450 yuan (sekitar Rp 865 ribu) per hari, sekitar 30 persen lebih banyak daripada di bulan lainnya," kata Dawut.
Dawut mengatakan puasa tidak mempengaruhi kemampuannya memberikan pelayanan yang baik kepada turis. "Orang Uighur tahu bagaimana cara menunjukkan pada tamu saat yang tepat," kata dia.
Sebuah kedai teh berusia berabad-abad terletak di jantung kota. Biasanya, kedai ini ramai dengan penduduk setempat yang ingin bersantai dan menikmati teh lezat dan murah yang telah diseduh oleh keluarga yang sama selama beberapa generasi.
Kedai ini masih buka selama bulan Ramadhan, tapi jelas jauh lebih sepi karena banyak pelanggan tetap yang berpuasa. Abudulrehman Tash (60 tahun) memutuskan tidak berpuasa tahun ini karena alasan pribadi.
Dia pun melakukan rutinitasnya bersoalisasi dengan teman-temannya setiap Selasa pukul 2 siang. "Berpuasa atau tidak adalah keputusan pribadi. Orang di kota tua tidak akan menghakimi anda karena hal itu," ujar Abudulrehman.
Tempat minum teh itu hanya beberapa menit berjalan kaki dari masjid terbesar di Xinjiang, Id Kah. Ribuan Muslim dari kota tua akan membanjiri masjid untuk sholat jumah pukul 15.30 WIB selama Ramadhan.
Orang mulai berkumpul sekitar jam 2 siang dan segera membentuk antrean panjang. Mereka semua menunggu dengan tertib dan tenang untuk memasuki masjid dan sholat.
Di seberang Id Kah tampak pasar makanan. Pasar ini tampak sepi pada siang hari selama Ramadhan. Namun, suasana di pasar ini berubah setelah berbuka puasa. Orang berduyun-duyun ke pasar untuk membeli makanan tradisional Uighur.
Penduduk setempat dimanjakan oleh berbagai pilihan makanan, termasuk domba kebab dan kaki domba pedas. Pasar makanan berubah menjadi 'arena pesta' sekitar tengah malam.
Dilhuba Memet (15 tahun) membantu ibunya di sebuah kios yang menjual sup wonton khas Uighur dan mi selepas sekolah. Dia mengatakan kios milik ibunya lebih sibuk selama bulan suci.
Dilhuba mengatakan dia tidak sabar menantikan Idul Fitri. Pemerintah setempat memberikan libur tiga hari bagi semua kelompok etnis di Xinjiang, yang merupakan rumah bagi 51 persen populasi Muslim di Cina.
Dia pun bercerita mengenai Idul Fitri. Pada hari raya ini, Dilhuba mengatakan, keluarganya akan mengunjungi sanak saudara. Orang-orang akan mengenakan pakaian baru mereka dan menampilkan makanan enak untuk para tamu.
"Seperti Festival Musim Semi, Hari Raya Idul Fitri menyatukan semua orang, terutama keluarga," kata dia.