Inilah Keunikan Puasa Ramadhan di AS

Red: Endah Hapsari

Senin 30 Jul 2012 05:24 WIB

Umat Islam AS berbuka puasa bersama Foto: AP Umat Islam AS berbuka puasa bersama

REPUBLIKA.CO.ID, Suasana Ramadhan sama sekali tidak terasa di Dearborn, Michigan. Padahal di kota ini terdapat komunitas Muslim yang tergolong besar.

Abbas Ammar, pengelola Restauran Al-Ameer, tetap membuka rumah makannya seperti biasa. Pelanggan restorannya yang kebanyakan non-Muslim membuatnya sibuk bekerja seperti pada bulan-bulan lainnya.

 

“Enam puluh persen pelanggan Al-Ameer adalah non-Muslim. Mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh Ramadhan,” papar Ammar.

 

Ketika ditanya apakah sulit berpuasa sambil tetap bekerja tanpa tergoda mengudap, ia mengatakan, “Saya berusaha tetap sibuk seperti biasa. Saya tahu ini bulan Ramadhan, dan saya berpuasa karena Allah. Jadi mata saya tertuju pada sesuatu yang mendatangkan pahala.”

 

Apa yang dialami Ammar ini merupakan hal yang umum dirasakan Muslim yang berpuasa di Amerika. Berbagai kesibukan dan kegiatan yang biasa dilakukan mereka sehari-hari tidak berubah sama sekali. Ini menjadikan puasa di Amerika lebih merupakan urusan pribadi.

 

Namun, di banyak tempat di Amerika, aspek kemasyarakatan Ramadhan yang umumnya dilakukan di masjid atau tempat-tempat berkumpul lainnya sangat menonjol di mana buka puasa dilakukan dengan cara potluck, yaitu setiap orang yang datang diharapkan membawa sumbangan makanan untuk dinikmati bersama; budaya yang bagi kebanyakan orang Timur tidak biasa. Tetapi, dengan cara ini kita bisa “keliling dunia” mencicipi beragam hidangan manca negara, karena berbuka dengan orang dari berbagai latar belakang etnis dan bahkan non-Muslim.

 

Kehadiran warga non-Muslim dalam acara berbuka ini semakin terlihat lazim di Amerika. Ashraf Sufi dan keluarganya yang tinggal di Topeka, Kansas, misalnya, kerap mengundang tetangga-tetangganya yang non-Muslim untuk berbuka bersama.

Ia mengatakan bahwa acara berbuka di rumahnya sudah lama menjadi seperti ajang dialog antar agama, karena seringkali kedatangan sekitar 70 orang, termasuk dari kelompok Nasrani, Yahudi, Budha, dan Bahai.

 

Seiring dengan keunikan tradisi puasa ini, teknologi dunia maya juga berperan besar dalam membantu Muslim menyesuaikan budaya Ramadan dengan irama kehidupan Amerika yang serba cepat. Blog “My Halal Kitchen,” misalnya, membantu para ibu menyiapkan aneka hidangan berbuka secara cepat setiap harinya tanpa membuat dapur berantakan.

Pemesanan makanan halal siap saji melalui internet membantu mereka yang tidak punya waktu untuk masak, khususnya para lajang dan mahasiswa, untuk berbuka atau sahur. Sementara, banyak yang menggunakan berbagai media sosial, seperti Tweeter, untuk saling berhubungan apakah untuk mengajak sahur bersama di restauran yang buka 24 jam atau membahas Al-Qur’an di masjid.

 

Jadi, budaya Ramadan di Amerika bukan saja unik, tetapi juga khas, karena “diciptakan” oleh mereka yang ingin memenuhi kewajiban sebagai pemeluk agama Islam dan meningkatkan ketakwaan.